Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan & Andalan (KTNA), HM. Yadi Sofyan Noor
TRASINFO, JAKARTA - DI TENGAH maraknya konversi atau alih fungsi lahan pertanian di tanah Jawa menjadi berbagai bentuk baru seperti kawasan properti, pabrik, dan jalan, pemerintah gencar melakukan program ekstensifikasi untuk food estate di luar Jawa seperti di kawasan food estate padi di Kalimatan Tengah (Kalteng). Konversi lahan persawahan di Pulau Jawa terjadi dengan sangat pesat can cepat sekali.
“Itu harus ada konpensasinya ke luar Jawa, yang lahannya masih luas dan kosong,” kata Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan & Andalan (KTNA), HM. Yadi Sofyan Noor kepada TRIAS.
Sekarang ini pemerintah mengambil langkah untuk melakukan ekstensifikasi lahan untuk food estate di luar Jawa seperti di Kalimantan Tengah. Di Pulau Sumatera juga banyak lahan.
Menurut Yadi Sofyan, itu sebuah langkah dan kebijakan bagus yang ditempuh pemerintah dengan ekstensifikasi lahan untuk food estate padi.
“KTNA sangat mendukung program ekstensifikasi lahan sawah di kawasan food estate padi Kalimantan Tengah,” tambah Yadi Sofyan Noor.
Akan tetapi, menurutnya, kegiatan ekstensifikasi tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi lahan di Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau adalah lahan rawa yang kadar asamnya tinggi dan tanahnya agak dalam sehingga membutuhkan mekanisasi untuk pengolahan irigasi dan lain-lain.
“Saya sudah dua kali ke sana dan memang kalau untuk membuka food estate itupun tidak semudah yang kita bayangkan pada saat kita menggunakan alat berat.”
Di awal, itu sudah mengubah komposisi tanah, mikroba yang ada di sekitar itu juga berubah total akhirnya tanah itu seperti keliatan kurus tapi pada saat tertentu nanti dalam waktu sekitar 4-5 tahun sudah bisa ditanami dengan normal.
Produktivitas di lahan baru itu saat awal-awal memang berat kejadiannya. Padi itu kelihatan bagus tapi kosong. Di situ harus ada treatmen khusus paling tidak PH-nya dinaikkan. Sementara lahan yang baru dibuka itu minim akan barang-barang seperti itu.
Di tahun kedua, lahan tanah itu sudah mulai normal dan investasi untuk tahap itu mungkin tidak sebesar biaya tahap awal. Meihat di Kapuas Kalteng sudah menghasilkan dan produksi padi juga sudah mencapai 4,4 ton/hektar. Itu sudah bagus untuk produktivitas padi di luar Jawa.
Lahan rawa ini masih bisa diubah menjadi lahan produktif. Sawah di Pantura Jawa kalau dilihat dari sejarahnya itu rata-rata bekas bakau. Hari ini lahan bekas bakau itu menjadi sawah. Ciri khas sawah flat itu pasti bekas lahan-lahan bakau. Tidak ada lahan bakau itu bergelombang. Tanah flat itu dirapikan dengan irigasi yang baik bentuknya akhirnya dilihat menjadi sawah.
“Saya masih optimis lahan yang di Kalimantan masih bisa produktif. Sangat optimis bahwa salah satu lumbung pangan Indonesia itu ada di Kalimantan Tengah. Tinggal memang Kalimantan Tengah itu kan manusianya terbatas. Sehingga butuh SDM dari Jawa dan Sulawesi. Saya tidak berfikir bahwa lahan food estate Kalimantan ini kurang dan tidak bergairah. Setiap lahan dibuka akan bermanfaat. Kalau dibuka tidak dimanfaatkan ya akan terbengkalai.”
Teknologi jaman sekarang kan canggih. Orang Arab saja bisa menanam di padang pasir yang tidak ada airnya apalagi kita. Hanya saja manajemen pengelolaan lahan itu yang difokuskan. Jadi saya optimis sekali dengan kawasan food estate padi di Kalteng ini.
Kelemahan di petani Indonesia umumnya menyangkut pembiayaan. Kalau di negara maju, lahan-lahan seperti itu ditangani swasta murni yang memiliki modal. Namun di Indonesia kita tidak bisa tidak melibatkan petani dari warga lokal. Sementara di situ keterbatasan pembiayaan. Ini salah satu hal yang memang memperlambat produktivitas.
Pemerintah sekarang harus melatih petani-petani Indonesia untuk bisa membiayai dirinya sendiri dan tidak mengharapkan bantuan-bantuan lagi. Ke depan kita harus meninggalkan bantuan-bantuan yang membebani pemerintah, Sementara petani kalau dibantu tidak ada beban. Tidak ada beban itu jadi seenaknya nanti, tapi kalau dia mencari modal sendiri pada gilirannya dia akan punya tanggung jawab besar terhadap apa yang dia lakukan.
Pembiayaan di Ditjen PSP Kementan seperti KUR Pertanian itu wajib disosialisasikan dan disampaikan bahwa ini bukan sesuatu yang merugikan. Karena dibantu dalam pengertian teknologinya dan cara pemakaiannya. Jangan sampai kejadian, petani membawa bantuan itu secara gratis dengan tidak ada beban sama sekali.
Sekarang ini, ada dua tipe petani Indonesia. Satu tipe petani, pemuda petani lokalan yang tidak punya kemampuan untuk mengelola modal itu. Mereka akhirnya lari ke Jakarta karena agak berat bagi mereka kerja di lahan-lahan pertanian dan gajinya juga murah dan tidak pasti.
Mereka merasa lebih baik men jadi driver ojek onlie dan lainnya di kota. Namun, di sisi lain, ada kelompok pemuda kita yang DPM DPA itu memakai modal sendiri dan mereka bisa membuktikan bahwa pertanian itu menjadi sumber uang. Banyak contohnya.
Jadi pemerintah mestinya melihat bukan hanya yang berhasil ini diekspose tapi bagaimana yang dari awal dia tidak punya kemampuan itu dilatih menjadi SDM yang percaya dan yakin bahwa di pertanian itu bisa membawa ke kemandirian.TRIAS/ETD