Kajari Jakbar, Dr. Iwan Ginting, SH, MH
TRIASINFO, JAKARTA - Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat (Jakbar) sepanjang tahun 2022 telah menghentikan penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif pada 12 perkara pidana umum (pidum) yang ditangani.
Kepala Kejari (Kajari) Jakbar, Dr. Iwan Ginting, SH, MH, mengatakan, saat ia mulai efektif menjalankan tugas sebagai Kajari Jakbar terhitung sejak 30 Agustus 2022, sudah ada satu perkara pidana umum (pidum) yang dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif. Hingga akhir Desember 2002, Kejari Jakbar telah menghentikan penuntutan pada 12 perkara pidum berdasarkan Keadilan Restoratif.
Atas kinerja bidang Tipidum tersebut, Kejari Jakbar mendapatkan apresiasi khusus dari Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI jakarta, berupa Sertifikat Penghargaan atas Pencapaian Penyelesaian Penanganan Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif Terbanyak ke-1 di Lingkungan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
“Jadi sejak ditugaskan ke sini sudah ada 11 perkara yang diajukan kepada pimpinan Kejaksaan Agung untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif,” tutur mantan Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten ini.
Ke-12 perkara yang telah dihentikan penuntutannya tersebut bervariasi, antara lain perkara penganiayaan, pencurian, dan KDRT.
Iwan Ginting menggarisbawahi, perkara pidum yang bisa diajukan untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain adanya perdamaian antara pihak pelaku dan pihak korban di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Syarat-syarat lainnya, lanjut Iwan Ginting, adalah tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Di tahap perdamaian, Tim Kejari Jakbar mengundang para pihak untuk proses mediasi dan menawarkan kepada mereka untuk berdamai. Setelah itu Tim Kejari Jakbar meneliti lagi untuk menghindari agar jangan sampai ada ketidakpuasan di antara para pihak.
"Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi. Tersangka dan korban sama-sama setuju dan sepakat untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan pengadilan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” kata Iwan.
Tahap selanjutnya, tim Kejari Jakbar menelaah apa saja syarat lainnya yang harus dipenuhi sehingga nanti penghentian penuntutan perkara dengan restorative justice ini bisa disetujui.
“Tujuan utama penerapan RJ ini kan agar terjadi keseimbangan di masyarakat, pemulihan kembali ke keadaan semula. Itu yang kami coba capai dan Alhamdulillahnya sampai saat ini sudah 12 perkara yang kami ajukan untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan RJ dan pimpinan menyetujui semua yang kami ajukan tersebut,” imbuh Iwan Ginting.
Iwan Ginting mengaku, sebagai pimpinan di Kejari Jakbar, ia senantiasa mendorong dan mengingatkan jajaran jaksa di Kejari Jakbar untuk tidak terpaku pada mindset bahwa setiap berkas perkara yang masuk dari penyidik harus dan wajib masuk ke pengadilan.
“Saya selalu dorong teman-teman jaksa di sini untuk jangan terpaku dengan mindset bahwa semua berkas perkara yang masuk dari penyidik itu wajib dibawa ke jalur pengadilan. Pola semacam ini kan sudah berubah karena memang kita sudah diberi amanat dan payung hukumnya oleh Jaksa Agung. Karenanya amanat Jaksa Agung itu kami maksimalkan,” terang Iwan Ginting.
“Yang menjadi payung hukum kejaksaan dalam menerapkan penghentian penuntutan berdasarkan RJ ini sesuai adalah seruan Jaksa Agung yang dituangkan dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.” TRIAS (Erwin Daulay)