Jaksa Agung RI, Prof. Dr. H. ST. Burhanuddin,SH, MM
“Saya selaku Pribadi dan pimpinan mengapresiasi acara diskusi ini karena merupakah contoh sinergi kolaborasi yang baik antara dunia akademik dan dunia praktisi serta pengambilan tema yang update terkait kebijakan penegakan hukum,” ungkap Jaksa Agung selaku keynote speaker.
Jaksa Agung mengatakan, materi diskusi terkait kebijakan pelaksanaan penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang belakangan ini dijalankan oleh institusi kejaksaan telah mendapat perhatian dunia pendidik dan praktisi baik itu di level nasional maupun internasional.
Pada Mei 2022, lanjut Jaksa Agung, beberapa organisasi internasional memberikan apresiasi atas pendekatan keadilan restoratif yang dijalankan oleh kejaksaan.
“Saat ini, kami sampaikan, sudah ada 1.334 perkara yang disetujui untuk diselesaikan secara restorative justice dari total 1.450 perkara yang diajukan,” ucap Jaksa Agung.
Jaksa Agung menjelaskan, tidak semua permohonan restorative justice dikabulkan. Sebab, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa dilakukan restorative justice.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, kata Jaksa Agung ST Burhanudin, dilakukan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, memperhatikan pertimbangan jaksa dengan memperhatikan subjek, objek, kategori dan ancaman, kemudian latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana.
Jaksa Agung berpesan agar kegiatan webinar antara dunia pendidikan dan praktisi terus konsisten dilakukan karena kerja sama itu bisa menghadirkan pemikiran sumbangsih dalam pembangunan hukum Indonesia.
Webinar menghadirkan beberapa narasumber dari Praktisi antara lain Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat Dr. Asep Nana Mulyana, advokat Ahmad Maulana,SH dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners serta narasumber dari akademisi yakni Kepala Bidang Studi Hukum Acara FH-UI Junaidi Saibih, SH, M.Si, LLM serta dihadiri Mia Banulita, SH, MH selaku Kepala Kejari Depok beserta jajaran dan puluhan mahasiswa FH-UI.
Kajati Jawa Barat, Asep N Mulyana dalam paparannya, mengatakan, berbagai problematika hukum yang terjadi saat ini menimbulkan adanya legal justice effect. Hal ini bakal berdampak pada sejumlah hal salah satunya adalah lembaga pemasyarakatan (Lapas) menjadi over kapasitas (over capacity).
“Di Jawa Barat ada permasalahan over capacity di Lapas serta ada anggapan bahwa penjara menjadi school of crime,” ujar Kajati Jabar.
Asep N Mulyana juga mengungkapkan adanya komparasi pemidanaan di Indonesia dan Belanda. Berbeda dengan Indonesia, di Belanda telah diamandemen regulasinya sebanyak 5 kali. Lapas sudah bukan menjadi tujuan utama hukuman. Tolok ukur yang ada di negara ‘anglo saxon’ sama seperti di Belanda,” lanjut Asep Mulyana.
Asep N Mulyana mengingatkan, penegakkan hukum pidana bertujuan menciptakan keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan perdamaian.
“Kemudian adanya dua produk utama yang menjadi keunggulan yaitu Peraturan Kejaksaan 15 Tahun 2020 serta Pedoman No. 18 Tahun 2021 yang merupakan wujud nyata negara hadir dalam asas kesamaan setiap orang di mata hukum.”
“Akhir kata, pilihan kembali pada para penegak hukum untuk menggunakan filosofi retributif ataukan utilitas,” sambungnya.
Kepala Bidang Studi Hukum Acara FH-UI Junaedi Saibih mengatakan, ada beberapa hal terkait pentingnya restorative justice. Melalui Perja 15 Tahun 2020, hal itu berkaitan dengan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN, yang merupakan salah satu cara perwujudan agenda ini untuk mengedepankan restorative justice.
“Adanya shifting paradigm atau pergeseran dalam paradigma keadilan, dari yang dianggap memberi derita kepada pelaku namun berkembang pada pertengahan menuju keadilan restitutif,” ujar Junaedi.
Menurut Junaedi, jaksa adalah wakil dari pemegang kepentingan korban. Sehingga adanya kepentingan restorative justice yang menempatkan posisi korban yang ikut bersama jaksa untuk menyelesaikan permasalahan.
“Ada benang merah antara penyelesaian masalah secara privat yang kemudian diambil alih oleh kepentingan hukum publik yang akan datang.”
Selain itu, dijelaskan juga mengenai prospective justice theory yang tidak hanya dilakukan penghukuman tanpa menimbulkan korban baru, namun juga untuk membangun konsep memaafkan.
Terpisah, Partner Assegaf Hamzah & Partners Ahmad Maulana mengungkapkan, pertama-tama, pengertian terkait advokat selaku figur yang memberikan jasa hukum yang mendapatkan panggilan untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum yang dimiliki dalam proses peradilan pidana.
“Adanya aspek yang diharapkan masyarakat terhadap suatu kejahatan memiliki pertanyaan tersendiri,” ujarnya.
Ia lantas mengatakan, bahwa bentuk penyelesaian restorative justice bisa melalui ganti rugi, ganti biaya, memperbaiki kerusakan, dan sebagainya. Namun yang jadi pertanyaan publik adalah, apa yang bisa digunakan lembaga penegakan hukum untuk menjawab keresahan masyarakat dari kejahatan yang terjadi.
“Hal ini yang menjadi penting, karena tidak hanya korban yang berhak mendapat perlindungan namun juga pelaku untuk menjaga kestabilan sosial.”