HM Yadi Sofyan Noor, Ketua Umum KTNA Nasional
Triasinfo - Jakarta - Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional, HM Yadi Sofyan Noor, menegaskan bahwa tudingan beberapa orang yang menyebut swasembada beras isapan jempol adalah tidak benar alias ngawur. Ia mengatakan, data resmi menunjukkan bahwa produksi beras nasional tahun ini sudah melampaui target dan pemerintah tidak melakukan impor beras sama sekali.
"Kalau dibilang swasembada itu isapan jempol, buktinya tahun ini kita tidak impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) jelas, per November produksi kita sudah mencapai 33,4 juta ton, melebihi target 32 juta ton," ujar Sofyan dalam program Bincang Tipis-Tipis di chanel Tale Trias Info yang dipandu host, Erman Tale Daulay.
Menurut Sofyan, capaian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri. Ia memperkirakan hingga akhir tahun total produksi beras nasional dapat menembus 35 juta ton, atau sekitar 3 juta ton di atas target yang ditetapkan pemerintah.
Keberhasilan swasembada beras, jelas Sofyan, tidak lepas dari dukungan pemerintah yang total terhadap sektor pertanian. Berbagai intervensi seperti penyediaan pupuk bersubsidi, benih unggul, alat dan mesin pertanian (alsintan), serta perbaikan jaringan irigasi dan penyediaan irigasi pompa dinilai sangat membantu petani di lapangan.
"Dari awal tahun pemerintah sudah siap. Irigasi bagus, musim mendukung, sarana produksi lengkap. Pemerintah memang mendorong besar-besaran untuk swasembada, kami tinggal menjalankan di lapangan," ucapnya.
Ia menambahkan, pemerintah juga cepat tanggap menghadapi persoalan klasik petani seperti kekeringan dan kelangkaan pupuk. Tahun lalu, misalnya, pemerintah menyiapkan sumur dalam dan pompa air di berbagai daerah yang terdampak kekeringan.
"Begitu kita petani lapor, Kementan langsung turun. Tahun ini alam mendukung, hujan cukup, irigasi lancar," ujarnya.
Kondisi air yang mendukung tahun ini, lanjut Sofyan, berdampak langsung terhadap peningkatan indeks pertanaman. Banyak lahan yang sebelumnya hanya bisa ditanami sekali setahun kini bisa dua hingga tiga kali tanam.
"Di Kalimantan Selatan yang dulu sekali tanam, sekarang rata-rata dua kali. Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan bisa tiga kali. Bahkan di Sragen, Jateng, ada empat kali, meski tidak banyak," katanya.
Menurut Sofyan, peningkatan produktivitas itu turut berdampak pada pendapatan petani. Harga gabah kering panen (GKP) kini tidak pernah berada di bawah Rp6.500 per kilogram, bahkan banyak daerah mencatat harga Rp7.000.
"Kalau petani produksi enam ton, hasilnya sekitar Rp42 juta. Setelah dikurangi biaya produksi dan sewa lahan sekitar Rp25 juta, masih ada sekitar Rp17 juta. Kalau dibagi empat bulan, rata-rata pendapatan petani tahun ini lebih dari Rp4 juta per bulan, naik dari tahun lalu sekitar Rp3 juta," ujarnya.
Ia juga menyebut Nilai Tukar Petani (NTP) mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah, yakni 124, naik signifikan dari posisi 110-112 sebelumnya.
"NTP setinggi itu baru pertama kali terjadi. Ini artinya daya beli petani meningkat dan kesejahteraannya membaik," kata Sofyan.
Dalam kesempatan yang sama, Sofyan menyampaikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman atas perhatian besar terhadap sektor pertanian dan kemandirian pangan nasional.
"Saya harus berterima kasih. Presiden punya perhatian besar untuk target swasembada pangan. Pak Menteri juga luar biasa, tidak pernah istirahat, siang malam turun ke daerah," ucapnya.
Berbagai kebijakan, lanjut Sofyan, pemerintah yang menurunkan harga pupuk hingga 20 persen juga sangat berdampak positif luar biasa bagi petani. Ia optimistis bahwa dengan pola tanam yang semakin baik dan dukungan pemerintah yang kuat, tahun 2025 akan menjadi momentum penting dalam memperkuat kemandirian pangan nasional.
"Kalau tahun depan program ini terus dijalankan, saya yakin hasilnya akan lebih baik lagi dari tahun ini," tutupnya.