Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kajati Jabar), Prof. Dr. Asep N. Mulyana, SH, M.Hum menjadi narasumber dalam kegiatan “In House Training PT. Tirta Asasta Depok (Perseroda)
TRIASINFO, Bandung – Menarik dicermati paparan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kajati Jabar), Prof. Dr. Asep N. Mulyana, SH, M.Hum yang disampaikan saat menjadi narasumber dalam kegiatan “In House Training PT. Tirta Asasta Depok (Perseroda)” yang berlangsung di Hotel Vue Palace Bandung, pada Senin 12 Desember 2022.
Dengan makalah bertajuk “Business Judgment Rule dalam Pengelolaan BUMN/BUMD”, Asep Mulyana mengungkapkan pemikirannya bahwa paradigma penegakan hukum dewasa ini mengalami pergeseran dari paradigma retributif yang sarat dengan pembalasan, menuju paradigma penegakan hukum model integratif yang bersifat transformatif, edukatif, dan solutif.
Artinya bahwa para aparat penegak hukum tidak lagi semata-mata hanya menghukum dan menjerakan pelaku kejahatan korporasi dan bisnis namun juga melakukan koreksi terhadap tata kelola dan proses bisnis yang menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan korporasi dan bisnis dalam rangka memulihkan pada kondisi semua.
“Paradigma Model Integratif Penegakan hukum ini terlihat pada upaya memperbaiki dan mengedukasi agar tidak terjadi lagi pelanggaran hukum di masa yang akan datang. Melalui model Integratif penegakan hukum ini secara komprehensif akan menjadi bentuk penanggulangan kejahatan korporasi dan bisnis dari hulu sampai hilir, baik sebelum terjadinya pada saat maupun setelah terjadinya pelanggaran hukum,” papar Kajati Jabar Asep Mulyana, peraih gelar Profesor Kehormatan bidang ilmu hukum dari UPI Bandung ini.
“Model Integratif Penegakan hukum ini tidak hanya fokus pada follow the suspect melainkan juga pada follow the money dan follow the asset. Jadi, tahap ini akan memaksimalkan pengembalian dan pemulihan kerugian keuangan negara tanpa menyandera aktivitas perusahaan serta keberlangsungan dan keberlanjutan roda perekonomian nasional.”
Asep Mulyana menyatakan, banyaknya aksi korporasi yang acapkali menunjukkan fenomena kontradiktif. Pada satu sisi, korporasi sebagai entitas bisnis memiliki kontribusi signifikan dalam penyediaan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perbaikan taraf hidup masyarakat, penerimaan pajak dan pembangunan nasional.
Akan tetapi, pada sisi lain, ada suatu realitas aksi korporasi yang acapkali dijadikan sebagai alat maupun instrumen untuk mendapatkan keuntungan dari suatu kejahatan, bahkan tidak jarang pula sejak awal korporasi sengaja dibuat, didirikan dan dibentuk untuk melakukan kejahatan.
Karenanya, diperlukan model penegakan hukum integral sebagai salah satu alternatif dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Penegakan hukum integral adalah model penegakan hukum yang didasari oleh pemikiran berkeseimbangan atas semua elemen yang berpengaruh dalam proses dan hasil penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Artinya, aparat penegak hukum termasuk jaksa diharapkan mampu melihat, memahami, dan menganalisis semua objek atau fenomena yang mempengaruhi penegakan hukum secara menyeluruh dan kontekstual, dalam satu kesatuan integral yang lebih besar.
"Untuk itu, dalam rangka penanggulangan kejahatan korporasi melalui pendekatan penegakan hukum integral bisa dipahami sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, yang meliputi evaluasi terhadap struktur, substansi, dan budaya hukum guna mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu tercapainya suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” ujar Kajati Jabar lagi.
Dalam praktiknya, marak terjadi direksi perseroan yang notabene memiliki tugas dan wewenang untuk menjalankan pengurusan perseroan justru terjerat permasalahan hukum akibat dari keputusan atau kebijakan yang dibuatnya.
Kejadian tersebut menggambarkan betapa suatu keputusan yang diambil oleh direksi selaku organ perseroan merupakan hal yang sangat krusial. Kemudian apabila ternyata keputusannya justru membawa kerugian pada perseroan, tak jarang direksi dituntut secara pribadi oleh aparat penegak hukum, baik dalam ranah pidana maupun perdata.
Sejatinya dalam dunia bisnis, tidak ada satu pun pihak yang menginginkan datangnya kerugian. Namun terkadang hal-hal yang terjadi di lapangan begitu dinamis dan sulit untuk diprediksi, sehingga ide bisnis dan keputusan yang semula dipercaya akan mendatangkan laba justru menunjukkan hasil sebaliknya.
Dalam hal terjadi kondisi demikian, doktrin ‘business judgment rule’ menjadi bahan pembelaan agar direksi bisa terlindungi dan bebas dari tuntutan hukum. Fungsi doktrin ‘business judgement rule’ adalah menjadi pedoman dan petunjuk bagi direksi untuk tidak gegabah dalam mengeluarkan keputusan bisnis.
Mantan Kajati Banten itu menggarisbawahi, ’Business Judgement Rule’ adalah suatu konsep di mana direksi perseroan tidak dapat dibebankan tanggung jawab secara hukum atas keputusan yang diambilnya walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan dengan iktikad baik, tujuan, dan cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian.
“Jadi, sepanjang menjalankan prinsip ‘Business Judgement Rule’, para direksi korporasi tidak perlu takut, khawatir, dan ragu-ragu dalam menjalankan aksi korporasi baik dalam mengejar keuntungan (profit) korporasi, melaksanakan tanggung jawab sosial, maupun melaksanakan pengembangan masyarakat,” cetus Kajati Jabar.
Terpisah, Direktur Utama PT Tirta Asasta Depok (Perseroda), M. Olik Abdul Holik, Ak, M.Si mengaku sangat apresiatif dengan Kajati Jabar yang telah memberikan pengetahuan hukum terkait penerapan ‘Business Judgment Rule’ dalam Pengelolaan BUMN/BUMD.
Berbekalkan penjelasan Kajati Jabar tersebut, Olik menegaskan, jajaran direksi PT Tirta Asasta Depok akan senantiasa memberikan kinerja terbaik pada korporasi melalui pelayanan prima dan berwawasan lingkungan dengan sistem pengelolaan yang akuntabel dan profesional berlandaskan pada panduan ‘good and clean corporate governance’.
“Dari paparan Pak Kajati Jabar, saya menangkap satu pesan yang melegakan dan sekaligus menjadi motivasi kuat untuk tetap menjalankan tupoksi bahwa selama menjalankan prinsip ‘Business Judgement Rule’, direksi korporasi tak perlu takut menjalankan aksi korporasi,” tandas Olik. (Erwin Daulay)