Meniti Jalan Menuju Kelestarian Hutan,  Keadilan Sosial dan Penguatan Ekonomi Rakyat

Foto : Dr. Ir. Mahfudz, M.P., Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan.

eksekutif

Meniti Jalan Menuju Kelestarian Hutan, Keadilan Sosial dan Penguatan Ekonomi Rakyat

Perhutanan Sosial bukan hanya tentang mengelola hutan. Justru pro gram yang tengah mereka bangun merupakan gerakan perubahan sosial, di mana masyarakat menjadi subjek, bukan objek. Mereka harus memperoleh hak, ilmu, dan peluang untuk mandiri.
 

Jakarta, 09 Juli 2025 - Direktur Jenderal (Dirjen) Perhutanan Sosial Kementrian Kehutanan, Dr. Ir. Mahfudz, M.P., menegaskan kembali pentingnya Perhutanan Sosial sebagai program nasional strategis yang bukan hanya menyentuh aspek lingkungan, tetapi juga berakar pada keadilan sosial dan penguatan ekonomi rakyat.

Perhutanan Sosial sendiri merupakan kebijakan pemerintah yang memberikan hak kelola legal kepada masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan melalui berbagai skema, antara lain Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Adat. Program ini menjadi wadah yang menjembatani antara perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Melalui Perhutanan Sosial, kita mengangkat masyarakat sebagai aktor utama dalam menjaga hutan, bukan sekadar objek pembangunan. Ini adalah bentuk nyata dari pembangunan berkelanjutan yang adil dan inklusif,” tegas Mahfudz dalam keteran gannya kepada Trias belum lama ini.

Diakuinya, program ini memberikan akses legal kepada masyarakat adat dan lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan hutan secara turun-temurun, namun tanpa kepastian hukum. Kini, mereka mendapat hak kelola sah, yang berarti mereka bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan, sekaligus memperoleh penghasilan yang layak. Tidak hanya itu, Perhutanan Sosial membuka pintu bagi masyarakat untuk, mengembangkan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu (seperti madu, kopi, bambu, dan rotan). Selain itu juga bisa, mengembangkan ekowisata, mendapat pelatihan teknis dan kewirausahaan serta mendirikan, sekaligus mengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

“Dengan akses dan pendampingan yang tepat, masyarakat desa kini tidak hanya jadi penjaga hutan, tapi juga pelaku ekonomi yang mandiri,” ujar Mahfudz meyakinkan.

Sejumlah manfaat konkret dari program ini telah dirasakan masyarakat, khususnya menyangkut akses legal atas lahan memberi rasa aman dan mengurangi konflik. Selain itu juga bisa meningkatkan pendapatan dari hasil hutan non-kayu dan sektor ekowisata. Membuka lapangan kerja, terutama melalui KUPS. Di sisi lain mampu meningkatkan kapasitas dan profesionalisme melalui pelatihan berkelanjutan. Bahkan manfaat positif yang bisa dirasakan melalui konversi yang membaik, yang terlihat dari penurunan deforestasi dan degradasi hutan. Lebih jauh pengentasan kemiskinan berbasis potensi lokal. Banyak KUPS kini telah menembus pasar nasional bahkan ekspor.

Ditegaskan Mahfudz program ini tidak serta-merta memberi izin. Prosesnya mencakup identifikasi, pembentukan kelem bagaan masyarakat, penyusunan dokumen, verifikasi lapangan, dan penerbitan legal itas. Setelah itu, masyarakat mendapat pendampingan intensif dalam penguatan kelembagaan, penyusunan rencana usaha, hingga promosi dan pemasaran hasil hutan.

Perhutanan Sosial membuka pintu bagi masyarakat untuk, mengembangkan usaha berbasis hasil hutan bukan kayu. Selain itu juga bisa, mengembangkan ekowisata, mendapat pelatihan teknis dan kewirausahaan serta mendirikan, sekaligus mengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Kementerian Kehutanan melalui Ditjen PS juga mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi berkala, pelatihan kewirau sahaan, akses ke pembiayaan, dan koneksi ke pasar. Dukungan multipihak—termasuk LSM, akademisi, dan sektor swasta— didorong untuk memastikan keberlanjutan program.

Namun, sekalipun mulai terasa manfaatnya dewasa ini, bukan berarti program ini tidak pernah dihadapkan pada tantangan besar. Mahfudz menyebutkan lima kendala utama, yakni Pertama, lemahnya kapasitas kelembagaan masyarakat. Kedua, pendampingan yang belum merata. Ketiga, sulitnya akses ke pembiayaan. Keempat, terbatasnya akses pasar, dan Kelima, kuran gnya koordinasi lintas pihak.

“Meski tantangannya besar, komitmen kami lebih besar lagi,” katanya. Pemerintah terus memperkuat kelembagaan, memper luas pelatihan, serta membangun kemitraan lintas sektor untuk menembus tantangan tersebut.

Untuk itu menurut Dr. Mahfudz generasi muda harus memiliki peran vital. Mereka diharapkan menjadi pendamping, inovator, dan penggerak usaha sosial berbasis hutan. Melalui pendekatan digital, teknologi hijau, dan semangat kewirausahaan, anak muda dapat mengangkat Perhutanan Sosial ke level yang lebih modern dan berdaya saing global. “Hutan bukan warisan untuk dihabiskan, tapi titipan yang harus dijaga. Generasi muda adalah penentu masa depan hutan Indonesia.

” Program yang dibangun ini menciptakan model pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan kepentingan ekologis, ekonomi, dan sosial dalam satu kerangka besar: Keadilan Sosial dan Kelestarian Hutan. “Mari kita jaga hutan, bukan hanya sebagai paru-paru dunia, tapi juga sebagai ruang hidup yang adil dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya. (Jay)

KUPS Mahfudz Masyarakat Adat Kementerian Kehutanan Perhutanan Sosial

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga :