Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
Triasinfo.com, Jakarta - Indonesia berkomitmen hingga tahun 2030 bisa mengurangi 29% emisi gas rumah kaca secara mandiri, dan bisa ditingkatkan lagi menjadi 41% jika ada dukungan internasional. Dilandasi komitmen tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab di sektor kehutanan untuk membuat kebijakan yang disebut dengan Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030. Pengelolaan Hutan Lestari adalah salah satu program andalan KLHK.
Dalam upaya pemerintah memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sektor kehutanan diklaim memiliki porsi kontribusi terbesar terutama melalui program Pengelolaan Hutan Lestari.
Apa sesungguhnya upaya yang ditempuh pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui program Pengelolaan Hutan Lestari?
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc, saat menjadi narasumber program podcast 'Bincang Tipis-tipis' di channel Youtube Tale Trias Info dengan host Erman Tale Daulay, menjelaskan banyak hal terkait program Pengelolaan Hutan Lestari.
Agus Justianto menerangkan, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi gas rumah kaca di dunia internasional yang ditandai oleh ditandatanganinya Paris Agreement atau Kesepakatan Paris oleh Presiden Jokowi. Di dalam Paris Agreement ini, negara-negara yang tergabung khususnya dalam persatuan bangsa bangsa (PBB) menyepakati bahwa setiap negara termasuk Indonesia harus memiliki upaya yang ambisius agar pemanasan global tidak melebihi dua derajat celsius.
Fenomena dewasa ini, dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa bumi ini semakin panas akibat dari emisi gas rumah kaca. Terkait itu, Indonesia kemudian menurunkan kebijakan nasional dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca dan sekaligus juga memenuhi komitmen global yang tertuang dalam Paris Agreement.
Adapun langkah yang ditempuh KLHK untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan membuat target yang disebut Nationally Determined Contribution (NDC).
“Target tersebut sudah disampaikan kepada Secretariat UNS CCC atau United Framework Convention on Climate Change. Jadi intinya kita berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui target-target yang sudah ditetapkan. Dan itu sudah menjadi kebijakan pemerintah yaitu mengurangi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan dengan biaya sendiri,” tutur Agus Justianto.
“Kita berjanji bahwa hingga tahun 2030 bisa mengurangi 29% emisi gas rumah kaca secara mandiri, dan berjanji akan ditingkatkan lagi pengurangannya menjadi 41% jika ada dukungan internasional.”
Berkenaan dengan janji dan target tersebut, Agus menambahkan, pemerintah Indonesia langsung mengandalkan 5 sektor utama yang terkait dengan perubahan iklim, yaitu pertanian, kehutanan, energi, industri dan waste. Pemerintah meminta masing masing sektor untuk menyusun rencananya masing-masing.
“Kami di Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan bertanggung jawab untuk sektor kehutanan untuk membuat kebijakan yang disebut dengan Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.”
Makna dari FOLU Net Sink 2030 ini, imbuh Agus, pada tahun 2030 Indonesia akan mencapai target untuk bisa mengurangi emisi karbon yang cukup besar yaitu sekitar -140 juta ton CO2 ekuivalen.
Dikatakan Agus, sektor kehutanan tidak hanya mampu menyerap dan menyimpan karbon tetapi juga bisa berkontribusi menyerap lebih untuk membantu sektor lain (lintassektor). Misalnya sektor industri dan transportasi yang relatif sulit mengatur pengurangan emisinya. Sinergi lintassektor adalah sebuah keniscayaan sebab setiap sektor tidak bisa berjalan sendiri.
Karena tidak bisa melakukan sendiri, makanya KLHK membuat rencana operasional FOLU Net Sink 2030.
“Berdasarkan hitung-hitungan melalui program FOLU Net Sink 2030, sektor kehutanan mampu memberikan kontribusi sekitar 59 persen dari total kontribusi semua sektor untuk pengurangan emisi,” tukas Agus.
Agus menekankan, program FOLU Net Sink 2030 bagaimanapun harus dikuantifikasi. Tidak sesederhana yang selama ini dijalankan misalnya menghitung tebang pohon berapa meter kubik dan satuannya berapa ton atau berapa rupiah nilainya. Sekarang ini dihitung dalam CO2 ekuivalen. Mengapa? Karena mengkuantifikasi atau mengkonversikan menjadi CO2 ekuivalen berkaitan dengan janji dan target Indonesia dalam mengurangi emisi. Satuan yang digunakan adalah CO2 ekuivalen artinya emisi yang bisa diserap itu satuannya adalah CO2 ekuivalen.