Anggota Komisi III DPR RI Mangihut Sinaga menegaskan perlu adanya penjelasan dan batasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP) terkait syarat dan ketentuan Restorative Justice (RJ). Tujuannya supaya tidak bias dan tumpang tindih antara pe
JAKARTA-Anggota Komisi III DPR RI Mangihut Sinaga menegaskan perlu adanya penjelasan dan batasan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP) terkait syarat dan ketentuan Restorative Justice (RJ). Tujuannya supaya tidak bias dan tumpang tindih antara penegak hukum, dalam penerapan pelaksanaannya di lapangan.
Mangihut Sinaga menyampaikan hal itu dalam bincang tipis-tipis yang di pandu oleh host ternama, Erman Tale Daulay, Kamis (5/12/2024) dalam channel Youtube Tale Trias Info.
"Secara pribadi saya mendukung RJ ini dan memang sangat baik," kata Mangihut mengawali perbincangan.
Nah, yang celakanya karena ini terjadi di lapangan belum jelas ketentuan dan batasan dalam undang-undang, bisa-bisa saja perkara pembunuhan nanti di RJ kan, dengan alasan karena berdamai atau bagaimana. Maka inilah mestinya harus diatur oleh undang-undang perkara mana yang boleh di RJ kan, apakah ancaman hukuman 5 atau 4 tahun ke bawah atau pelanggaran-pelanggaran saja.
"Kebetulan saat ini saya di Komisi III DPR RI akan mendorong status RJ ini pada undang-undang KUHAP yang baru nantinya. Sebab, RJ ini harus ada batasan terkait perkara apa saja yang bisa diselesaikan dengan RJ, supaya tidak bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di tubuh aparat penegak hukum serta intansi terkait lainnya," tandasnya.
Menurut politisi Partai Golkar ini, sejauh ini status RJ yang diterapkan masih bola liar, maka supaya tidak liar perlu aturan limitatifnya, syarat- syaratnya apa saja kasus yang bisa dilakukan RJ.
"Artinya inilah yang mau kita dorong dari komisi III DPR RI maupun Baleg maupun nanti dengan pihak-pihak terkait. Supaya di KUHAP yang baru nanti RJ ini masuk, paling tidak Januari 2026 bisa diterapkan ketentuan dan undang-undangnya," tegasnya.
Dengan harapan, lanjut Mangihut supaya tidak ada tebang pilih, atau diskriminasi, maka perlu adanya keseragaman termasuk versi jaksa dan beda pula dengan versihya polisi.
Sebelumnya, Mangihut Sinaga yang berhasil duduk dari Dapil Sumut III ini menguraikan bawah RJ ini dimulai di Belanda. Penyelesaian perkara di luar pengadilan, di Belanda diatur dengan undang-undang, diatur dengan limitatif serta syarat-syarat apa.
"Jadi, tidak semua perkara dibuat Restorative Justice, tapi ada aturannya. Misalnya ancaman hukuman 4 tahun ke bawah, serta perkara ringan.
Dan pelaksananya juga di Belanda itu adalah jaksa," tegasnya.
Oleh karena itu, lanjut Mangihut penjara itu tidak perlu banyak-banyak di sana dan tidak perlu sesak seperti di Indonesia. Hal ini terjadi karena apa, di Indonesia ini perkara kecil saja pun masuk penjara.
Sementara kalau di Belanda hal itu harus dihindari dan diselesaikan, itu pun kalau berulang-ulang tidak boleh dan ada ukurannya di sana.
"Nah, di Indonesia inilah yang diadopsi sekarang Restorative diversi di undang-undang No 1 Tahun 2023 ada Restorative Justice tetapi ada juga Peraturan Jaksa Angung (Perja) tetapi ada juga peraturan Kapolri (Perkap) ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) ada juga dari Kehakiman, jadi semua membuat Restorative Justice," tandasnya.
Sehingga, polisi dengan jaksa membuat masing-masing sendiri. Jadi sekarang ini karena tidak ada aturan yang jelas dan diatur oleh undang-undang, limitatifnya itu apa, inilah yang terjadi semacam diskriminasi.
"Pasti bedalah RJ yang dibuat oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. Maka ini sekarang, apalagi saya didalam forum Komisi III sudah terus berbicara RJ ini supaya agak diperjelas diatur dalam KUHAP nanti karena kita sekarang lagi menggodok KUHAP yang baru," tegasnya.