Dirjen PHL KLHK, Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
TRIASINFO, JAKARTA - DIREKTUR Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc mengatakan, sektor kehutanan harus bisa memberikan akses kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Kawasan hutan itu harus bisa memberikan manfaat kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Sejatinya, ada tiga aspek manfaat dari hutan Indonesia, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.
Agus mengatakan, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan kebijakan Perhutanan Sosial, maka akses masyarakat terhadap hutan diperbesar. Melalui program Perhutanan Sosial ini, pemerintah memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengelola hutan.
Bahkan presiden Jokowi menargetkan pemanfaatan hutan sosial seluas 12,7 juta hektar dari 120 juta hektar kawasan hutan di Indonesia harus bisa dikelola oleh masyarakat secara ekonomis.
Terkait izin Kelola hutan, itu bisa dalam skema hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, hutan adat, hutan desa dan hutan kemitraan lingkungan. Melalui skema-skema ini, masyarakat bisa mengajukan kepada pemerintah untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan.
Dari izin kelola hutan itu, masyarakat diberikan hak atau izin pengelolaan hutan. Kegiatan yang bisa lakukan di hutan antara lain produksi kayu, produksi hasil hutan bukan kayu, dan kegiatan jasa lingkungan.
Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut mengelola tetapi harus melalui izin Perhutanan Sosial.
“Perhutanan Sosial ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dalam upaya peningkatan kesejahteraan.Inilah aspek ekonominya,”ucap Agus.
Terkait izin konsesi hutan memang masih lebih besar dikuasai oleh perusahaan. Sebab pertimbangannya,perusahaan-perusahaan ini sejak zaman dulu sudah terkait dengan industri hutan.
Selama ini, sejak pengelolaan hutan secara intensif sekitar tahun 1969 hingga 1970-an porsi terbesar lebih dari 80% areal izin konsesi itu diberikan kepada perusahaan, masyarakat kurang diperhatikan.
“Tentunya ini perlu perhatian yang serius, karena tidak mudah menganti yang tadinya sebagian besar itu dikelola oleh perusahaan, kemudian sekarang diberikan kepada masyarakat,”ujarnya.
Kurangi Deforestrasi
Indonesia mempunyai target untuk mengurangi laju deforestasi. Sejak tahun 2015, Indonesia sudah bisa menekan laju deforestasi secara signifikan. Dengan berbagai program dan kebijakan rehabilitasi DAS, restorasi mangrove, restorasi gambut dan sebagainya, Indonesia bisa menekan deforestrasi sangat signifikan, dari 2 juta hektar lebih sekarang hanya sekitar 100.000 hektar hutan saja per tahun.
Fungsi hutan ini sangat vital apalagi di Indonesia dalam hal ini kawasan hutan yang dikuasai negara. Itu menyangkut sekitar 60% dari total lahan atau daratan. Sesuai dengan fungsinya, bisa menjadi hutan produksi, hutan lindung untuk tujuan perlindungan, atau hutan konservasi.
Terkait dengan pengelolaan hutan Lestari di Indonesia atau sesuai prinsip yang sudah diakui secara global dan digunakan oleh berbagai negara termasuk di Indonesia, yaitu sustainable forest management, tentunya kawasan hutan harus bisa memberikan manfaat.
Hutan sebagai sumber bahan baku harus tetap bisa memberikan suplai kepada industri. Ini juga akan kembali kepada pendapatan negara karena industri turunan dari kayu itu banyak sekali diantaranya furnitur, kertas dan lain sebagainya.
Hasil hutan hanya ada di tropical forest atau di hutan hujan tropis yang mudah tumbuh.Indonesia harus bersyukur karakter hutannya tidak seperti hutan di Eropa, yang puluhan tahun baru bisa jadi pohon yang besar.
Sedangkan pohon-pohon di hutan Indonesia tidak sampai 10 tahun sudah menjadi pohon yang bisa dimanfaatkan.Itu keunggulan hutan Indonesia dibandingkan negara-negara temperate. Bagaimanapun aspek ekonomi untuk perusahaan tetap berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Siapapun yang mempunyai niat untuk melakukan pengelolaan hutan tentu akan diberikan izin setelah dilakukan penilaian, verifikasi, dan sebagainya.
Selanjutnya kata Agus, dari aspek lingkungan (ekologi), pohon ketika tumbuh, dia menyerap karbon. Selain itu juga perakarannya dia juga bisa menahan erosi.Sedangkan kalau hutan gundul, itu menyebabkan air bisa langsung mengalir meluncur dari gunung langsung ke ke bawah, dan itu menyebabkan banjir dan sebagainya.
Namun jika pohon-pohon ditanam terutama di daerah hulu seperti di pegunungan, pohon-pohon itu mampu menyimpan air dan menahan air sehingga air tidak serta merta langsung meluncur ke bawah. Jadi, hutan sebenarnya bisa mencegah erosi, mencegah banjir, dan sebagainya.
Namun banyak masyarakat tidak sadar akan fungsi hutan. Terjadi penebangan pohon secara semena-semena.Pengaturannya, semua pohon boleh ditebang tapi harus sesuai dengan fungsinya dan diatur dengan mengimplementasikan prinsip sustainable forest management atau pengelolaan hutan Lestari.
Dia bersyukur masyarakat sekarang pada umumnya sudah mulai sadar bahwa hutan harus dijaga.Menebang hutan pun juga ada aturannya.Sehingga itu sudah menjadi kebutuhan.Mulai ada kesadaran masyarakat sehingga sudah mulai banyak menanam pohon karena tahu manfaatnya.
Namun, kata Agus, tentu ini tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran masyarakat, sehingga perlu intervensi pemerintah melalui peraturan dan kebijakan.Peraturannya jelas,pohon-pohon di hutan lindung tidak bisa ditebang sembarangan, di hutan konservasi pohon bisa ditebang hanya sangat terbatas, karena lebih diarahkan untuk pemanfaatan jasa lingkungan.Untuk di hutan produksi, pohon bisa ditebang namun juga dibagi berdasarkan fungsinya.Ini harus disampaikan kepada masyarakat.
Kita tidak menutup mata bahwa dari kayu bisa mendapatkan uang.Dengan jualan kayu atau bahkan hasil hutan lainnya.Itu diatur, jadi misalnya di hutan lindung.
“Boleh dilakukan pemanfaatan hutan, tetapi hanya skala kecil untuk hasil hutan bukan kayu.misalnya madu, sarang burung walet dan banyak lagi yang bisa dimanfaatkan,” ujar Agus.
Multiusaha Kehutanan
Multiusaha kehutanan menjadi pintu masuk untuk mengoptimalisasi pemanfaatan kawasan hutan nonkayu, yang di sisi lain hal itu juga memperbaiki iklim investasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, yang menjadi produk turunan UUCipta Karya (UUCK), telah membuka peluang sekaligus tantangan terkait dengan pengusahaan kehutanan.
Regulasi tersebut telah memberikan landasan kebijakan untuk kemudahan akses dalam berusaha dengan penyederhanaan atau simplifikasi perizinan berusaha.
Semula satu izin untuk satu kegiatan menjadi satu perizinan berusaha dengan multiusaha.Kini, pelaku usaha bisa mendapatkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk berbagai aktivitas usaha di dalam kawasan hutan, menggantikan skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH).
Jangka waktu berusaha juga diberi keleluasaan, sampai dengan 90 tahun dan bisa diperpanjang, memberikan kepastian investasi yang lebih besar bagi para pelaku usaha.
Transformasi skema IUPHH menjadi PBPH itu telah diperjelas oleh Peraturan Menteri LHK No 8 Tahun 2021, serta ditegaskan secara teknis melalui SE Menteri LHK No 6 Tahun 2022 tentang Multiusaha Kehutanan (MUK) pada hutan produksi.
Yang dimaksud kegiatan antara lain usaha pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hutan kayu alam, pemanfaatan hutan kayu tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Selain itu, pemanfaatan kawasan untuk pengembangan agroforestry, silvofishery, atau silvopasture. Model multiusaha kehutanan ini bisa dikembangkan melalui Kemitraan Kehutanan sebagai kerangka baru bisnis regeneratif sekaligus wadah kerja sama yang saling menguntungkan antara pemegang perizinan berusaha dan masyarakat.
Multiusaha kehutanan diharapkan dapat menjawab beberapa tantangan di dalam pengelolaan hutan, seperti a) nilai ekonomi riil kawasan hutan yang masih sangat berpotensi untuk ditingkatkan, b) masih terbukanya peluang untuk meningkatkan persentase areal kerja efektif, c) pasar kayu hutan alam yang sedang mengalami penurunan permintaan, dan d) alternatif potensial sumber PNBP, selain hasil hutan kayu diperlukan melalui optimalisasi ruang pemanfaatan kawasan hutan.
Kemudian di hutan konservasi bisa dilakukan kegiatan jasa lingkungan, misalnya ecotourisme (wisata alam).Izin diperbolehkan, dengan membatasi mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang tidak.Jadi tidak semua dimanfaatkan.
Itu regulasi dan instrumen yang disiapkan oleh pemerintah, termasuk kebijakan perhutanan sosial, kebijakan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) dan lahan. Itu juga mendorong masyarakat untuk bersama sama melakukan rehabilitasi.
Kemudian penanaman mangrove dan gambut yang bisa menyerap emisi berkali kali lipat dibandingkan lahan biasa.Semua program ini sudah diluncurkan pemerintah dan didukung oleh masyarakat.
7 Komoditas Wanatani
Terjadi lonjakan luas penetapan kawasan hutan dalam periode 10 tahun terakhir secara signifikan, menjadi total sebesar 79,2% dari total luas kawasan hutan Indonesia. Berdasarkan data ini, sebetulnya banyak potensi yang bisa dikembangkan di kawasan hutan, di luar pemanfaatan kayunya.
Indonesia mempunyai potensi besar wanatani yang memberi peluang kontribusi hutan bagi penyediaan pasokan bahan pangan untuk masyarakat, bahan baku obat untuk kebutuhan di sektor kesehatan, serta energi terbarukan yang terdapat pada masyarakat lokal.
Hasil kajian Lembaga Ekolabel Indonesia tahun 2022 menunjukkan,7 komoditas wanatani yang prospektif untuk dikembangkan, dengan mempertimbangkan pasar internasional, kelayakan finansial pada tahap budi daya dan pengolahan, dan skala investasi.
Ketujuh komoditas tersebut ialah kakao, kopi, kayu putih, aren, vanili, air minum, dan kredit karbon.Komoditas aren (Arenga), misalnya, memiliki potensi pasar sangat menjanjikan. Pasar gula aren dunia dengan kode HS 170290 sejauh ini melibatkan sepuluh importir besar, dengan Tiongkok sebagai importir terbesar senilai US$336,9 juta, diikuti oleh Prancis US$282,5 juta dan Thailand US$240 juta.
Sekalipun terbuka peluang baru dalam pengusahaan hutan, hingga saat ini baru tercatat sekitar 14 dari 567 PBPH di Indonesia yang mengajukan proposal multiusaha kehutanan (Dirjen PHL, 2022).
Mengapa peluang ini belum menarik minat sebagian besar pemegang PBPH?Secara faktual, sudah tentu kebijakan multiusaha kehutanan tidak lepas dari kekuatan pasar, kekuatan industri, dan kekuatan makroekonomi.
Di samping itu, yang juga dibutuhkan ialah perubahan mindset para pelaku industri kehutanan, dari model bisnis yang berorientasi pada timber-based menjadi multiproduct-based forest management.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari mengapresiasi inisiatif Kadin Indonesia yang menginisiasi Regenerative Forest Business, yang berupaya membangun jejaring di antara para pengusaha kehutanan sebagai sektor hulu dan pengusaha sektor di hilir (offtaker), sebagai bagian dalam inisiasi pelaksanaan bisnis berbasis multiusaha kehutanan.
Melalui pengembangan kerja sama hulu-hilir secara terintegrasi, potensi sumber daya hutan diharapkan bisa lebih tergarap optimal. Pemerintah berharap, skema multiusaha kehutanan dapat menjawab penilaian eksklusivitas perizinan pemanfaatan hutan selama ini yang berbasis satu izin untuk satu kegiatan usaha.
Di sisi lain, model perizinan sebelumnya menyebabkan hilangnya manfaat terbaik dari kawasan hutan, yang mungkin bernilai tinggi untuk pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan. Peluang ini seyogianya dapat dimanfaatkan oleh pemegang izin usaha, termasuk oleh masyarakat sekitar kawasan hutan.
Pengelolaan hutan lestari melalui penerapan multiusaha kehutanan yang dikelola berbasiskan lanskap ekosistem hutan diyakini dapat menjadi pilar penting untuk mendukung tercapainya berbagai target pembangunan. Baik dalam sektor kehutanan maupun untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pembangunan sektor di luar kehutanan, serta sekaligus sebagai bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim dalam rangka pencapaian target penurunan emisi GRK nasional.
Menurut Agus, harus diakui bahwa pernah ada tudingan kepada Indonesia terkait kejadian kerusakan hutan di Indonesia. Apalagi itu terkait dengan izin HPH seluas lahan ratusan ribu hektar. Itu sangat mungkin terjadi kerusakan. Sekarang masih tetap ada kerusakan hutan namun Kemenhut akan mengatur lebih ketat. Kemenhut punya target mengurangi laju deforestasi, yang sejak tahun 2015 Indonesia sudah bisa menekan laju deforestasi secara signifikan.
Sebelum tahun 2000-an, laju deforestasi bisa lebih dari 2 juta hektar setahun. Bayangkan 2 juta hektar hutan rusak. Kemenhut punya target mengurangi laju deforestasi, dan sejak tahun 2015 Indonesia sudah bisa menekan laju deforestasi secara signifikan.
Deforestrasi tidak bisa dinolkan sama sekali sebab hutan itu masih dibutuhkan oleh masyarakat dan orang banyak. Jadi tetap akan ada kegiatan tapi melalui corrective action. Kebijakan yang dilakukan secara kolektif, itu bisa menekan deforestrasi termasuk kebakaran hutan dan lahan.
Kemenhut meluncurkan berbagai corrective action, termasuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Ini bisa dibuktikan dengan angka statistik.Bukan sekadar retorika. Karena negara-negara lain juga bisa mengecek benar tidak laju deforestasi di Indonesia menurun.Dengan metode yang sangat canggih seperti remote satellite bisa memotret kondisi hutan Indonesia.
Makanya Indonesia bisa meyakinkan dunia melalui corrective action tersebut. Ini bukan hal mudah karena Indonesia membangun sistem sehingga semua bisa bertanggung jawab untuk mencegah kebakaran.Ini bisa dibandingkan kebakaran hutan terjadi di mana-mana.Australia atau Amerika Serikat jauh lebih besar di banding Indonesia.Mereka bahkan kewalahan memadamkan kebakaran itu.
Untuk masyarakat yang menanam di kawasan hutan, Agus menuturkan, bisa menggunakan metode argo foresting yakni dengan menanam pohon dan juga tanaman pertanian. Itu sudah di praktekkan ratusan tahun lalu.
Pohon juga harus ditanam.Ketika pohon sudah tumbuh besar, baru bisa menanam tanaman pertanian.Ini sudah di lakukan di Pulau Jawa sejak jaman dulu.Ini diperbaiki sistemnya sehingga hasilnya lebih produktif. TRIAS