Mashudi (kiri) saat Bincang Tipis-Tipis bersama Erman Tale Daulay
Triasinfo - Jakarta - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) terus mendorong perubahan paradigma lembaga pemasyarakatan (Lapas) dari tempat pemenjaraan yang identik dengan kekerasan menjadi ruang pembinaan yang humanis dan produktif.
Hal itu disampaikan Mashudi, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenimipas, dalam program Bincang Tipis-Tipis di chanel Tale Trias Info yang dipandu host Erman Tale Daulay.
"Yang pasti, kita harus memberikan pemahaman kepada pegawai. Harus berubah cara berpikir dan perilakunya. Jangan lagi melihat ke belakang, tapi ke depan bagaimana kita bisa membawa warga binaan agar kembali hidup di tengah masyarakat dengan produktif," ujar Mashudi.
Mashudi menjelaskan, seluruh Lapas di Indonesia kini diwajibkan memiliki program unggulan berbasis kemandirian, seperti pertanian, peternakan, kerajinan, dan UMKM yang melibatkan langsung warga binaan.
"Lapas harus menggunakan lahan di sekitar untuk ketahanan pangan. Lapas perempuan juga wajib punya program unggulan UMKM yang bisa bersaing dengan masyarakat luar," jelasnya.
Salah satu contoh konkret datang dari Lapas Nusa Kambangan, Cilacap, yang kini menjadi model agroindustri. Warga binaan di sana diberi kesempatan bekerja di bidang pertanian dan peternakan.
"Ada sekitar 293 warga binaan yang bekerja di sana. Mereka tahu tugas dan tanggung jawabnya, pagi bekerja, sore kembali. Ada yang menanam cabai, singkong, tomat, sampai memelihara ayam petelur dan domba," ujar Mashudi.
Inovasi lain yang diterapkan Kemenimipas adalah sistem pembinaan berbasis insentif ekonomi. Warga binaan yang bekerja di Lapas mendapatkan upah produktivitas antara Rp700 ribu hingga Rp900 ribu per bulan.
Sebagian penghasilan disisihkan sebagai tabungan, sebagian digunakan untuk membiayai kegiatan produktif mereka. "Kami tidak mau warga binaan hanya bekerja tanpa hasil. Mereka harus dapat imbalan. Ada yang sampai bisa menabung, bahkan membeli alat kerja sendiri," ungkapnya.
Salah satu program menarik adalah pembinaan konveksi. Setiap warga binaan yang mengikuti program menjahit mendapat upah sekitar Rp800 ribu–Rp900 ribu per bulan. Sebagian dari pendapatan digunakan untuk mencicil mesin jahit pribadi.
"Setelah masa binaan selesai, mereka bisa membawa mesin jahit itu pulang. Jadi saat bebas, mereka langsung bisa buka usaha sendiri," tambah Mashudi.
Mashudi menegaskan, sistem pembinaan baru ini tidak hanya menyiapkan warga binaan untuk bebas secara hukum, tetapi juga bebas secara sosial dan ekonomi. Dengan keterampilan dan tabungan yang dimiliki, mereka diharapkan mampu mandiri serta berkontribusi di masyarakat.
"Kita ingin hilangkan stigma bahwa Lapas itu tempat kekerasan. Tidak ada lagi cerita 'masuk penjara pulang tambah pintar kejahatan'. Sekarang justru mereka pulang dengan bekal keterampilan dan tabungan," tegasnya.
Filosofi pemasyarakatan kini bertransformasi dari "sangkar" menjadi "sanggar"—sebuah tempat pembinaan yang manusiawi agar lebih baik. Dulu, orang dikurung supaya jera atau kapok. Sekarang, mereka dibina supaya berdaya.
Dengan kata lain, dari sangkar ke sanggar dimaksudkan adalah membangun sistem yang manusiawi dan produktif.