Ketua Umum KTNA Nasional H.M. Yadi Sofyan Noor meninjau pabrik penggilingan beras
TRIASINFO.COM, JAKARTA - Ketua Umum KTNA Nasional, H.M. Yadi Sofyan Noor, mengungkapkan, Bulog bisa memenuhi gudangnya sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan jika mau membeli Gabah Kering Giling (GKG) atau beras petani dengan harga pasar.
Dari pantauan di lapangan saat ini, Yadi Sofyan Noor mengatakan, rata rata harga beras di penggilingan sebesar Rp 10.300/kg, sementara harga yang ditetapkan Bulog masih diangka Rp 9.700/kg. Harga di penggilingan ditentukan oleh harga gabah di lapangan, rata rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sudah mencapai harga Rp 5.800/kg.
Ketua Umum KTNA Nasional, Yadi Sofyan Noor, tengah berbincang dengan petani
“Kita sudah sepakat untuk memakai satu sumber data yakni data BPS. Dan data BPS mencatat bahwa produksi beras tahun 2022 mengalami kenaikan. BPS menghitung berdasarkan data dari produksi gabah atau beras secara nasional,” ucap Yadi Sofyan Noor.
Menurut data luas panen dan produksi padi yang dirilis BPS pada Oktober 2022, total luas panen padi 2022 diperkirakan mencapai 10,61 juta hektar atau naik 1,87 persen dari 2021. Dari luas panen tersebut, diperkirakan total produksi padi mencapai 55,67 juta ton gabah, meningkat 2,31 persen dari 2021.
“Jika dikonversi, produksi beras diproyeksi mencapai 32,07 juta ton, meningkat 2,29 persen dari produksi tahun lalu. Jadi tidak ada alasan untuk impor beras karena stok dari panen 2022 mencukupi,” cetusnya.
Menurut Yadi, kenaikan harga BBM memicu secara berantai kenaikan sarana produksi untuk budidaya tanaman padi. Jadi wajar saja jika kemudian harga gabah ataupun beras ikut naik karena petani harus menutupi biaya produksinya.
“Ini saatnya pemerintah membuktikan kepeduliannya kepada petani, melalui BULOG untuk membeli produksi padi petani dengan harga yang ekonomis, meskipun kita sama sama mengetahui harga beras impor lebih murah.”
Masalah pangan adalah masalah kedaulatan bangsa. Ada semacam ketidakadilan bagi petani padi pada saat BBM naik. Petani ingin menjual padinya dengan harga wajar untuk menutupi biaya produksi namun selalu dibayang-banyangi oleh impor beras.
“Kita juga tidak bisa mengatakan kepada petani, ’kalau tidak untung menanam padi kenapa tidak menanam komoditi lain yang menguntungkan.”
Hasil pantauan di lapangan
Yadi Sofyan Noor menambahkan, sebagian petani masih melakukan kegiatan panen di sentra-sentra produksi padi mulai di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, sampai di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Sebagian lagi sudah tahap tanam dan masih ada yang tahap pengolahan tanah untuk tanam bulan Desember ini.
Suratno, Ketua KTNA Kabupaten Sragen, mengatakan, harga beras di penggilingan yang terpantau Rp 10.300/kg. Harga Gabah Kering Panen (GKP) Rp 5.600–5.800/kg. Terjadi kenaikan dari harga di bulan November harga GKP yang dipanen dengan combine harvester belakangan tembus di angka Rp 5.600/kg sampai Rp 5.700/kg.
Ketua KTNA Kabupaten Indramayu, Amin, mengungkapkan, Indramayu adalah wilayah sentra yang saat ini tengah melakukan panen raya. Karena itu, menurut Amin, Bulog sebaiknya fokus melakukan penyerapan hasil panen petani daripada menekan pemerintah untuk melakukan impor. Baginya, impor bukan solusi karena hanya menambah beban petani.
“Impor beras bukan solusi dan tidak perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan saat ini adalah penyerapan di atas harga pasar yaitu Rp 10.300/kg,” ujar Amin.
Senada dengan Amin, Azis Yusuf dari Penggilingan CV Lumbung Padi Karawang mengatakan, saat ini tidak perlu impor beras mengingat beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah tengah melakukan panen raya. Di antaranya Karawang, Indramayu dan Yogyakarta.
“Tidak perlu impor karena panen raya terus berlangsung. Yang perlu dilakukan adalah serap padi petani dengan harga bagus. Mereka (Bulog) maunya serap di harga Rp 9.700 ya gak masuk buat kita,” cetus Aziz Yusuf.
Perpadi juga tolak impor beras
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, tidak menyetujui rencana importasi beras akibat stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) Bulog yang kosong. Soetarto menjelaskan, awal permasalahan kenaikan harga dimulai saat Agustus 2022 dimana pemerintah (Kemensos) mengelontorkan bantuan sosial (bansos) sebanyak dua kali.
“Sayangnya bansos ini tidak satu pintu, sehingga pengadaan pembelian beras membuat harga semakin liar,” tuturnya. Hal ini makin diperparah dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang membuat harga beras terdongkrak naik.
Soetarto menambahkan, “Surplus kita ini kan tidak banyak hanya sekitar 10% seharusnya surplus ini diamankan oleh Bulog agar tidak diambil oleh para spekulan, sehingga pemerintah memiliki kekuatan untuk mengintervensi pasar saat dibutuhkan”.
Menurut Soetarto, Perpadi telah menawarkan berkali-kali agar Bulog bekerja sama dengan penggilingan beras yang kecil bukan hanya yang besar-besar saja. Ini agar Bulog mendapat posisi tawar yang kuat dalam segi pengadaan stok beras dan tidak bisa dipermainkan oleh perusahaan yang besar.