Foto: Izmirta Rachman, Ketua Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO)
Kalau kita ingin swasembada energi, bahan bakunya jangan dijual ke luar negeri. Kita harus belajar dari biodiesel. Kenapa B40 bisa jalan? Karena semua solar wajib dicampur. Sementara etanol? Masih optional.
Jakarta, 23 Agustus 2025, Triasinfo.com - Saat ini pemerintah sedang berpacu dengan waktu untuk mengejar target bauran energi sebesar 23% di tahun 2025. Dalam dinamika tersebut, Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) tampil di garis depan, mengusung hilirisasi etanol sebagai solusi nyata menuju kemandirian energi.
Melalui rekam jejak panjang dan komitmennya yang konsisten, APSENDO menggugah kesadaran akan pentingnya reformasi tata niaga bahan baku serta kehadiran aktif pemerintah untuk membangun ekosistem energi yang adil, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Hal tersebut tertuang dalam informasi yang disampaikan Ketua APSENDO, Izmirta Rachman. Berdasarkan pendapatnya, industri etanol Indonesia bukanlah pendatang baru. “Etanol sudah ada sejak 1965. Bahkan kami pernah mendukung program mandatory pada 2006–2009 dengan mencampur etanol ke dalam bahan bakar Pertamina,” ujarnya Kepada Trias belum lama ini. Namun, diakuinya program itu sempat terhenti karena melonjaknya harga bahan baku molasses akibat ekspor besar-besaran ke luar negeri.
Molasses, yang merupakan hasil samping industri gula, menjadi bahan baku utama produksi etanol di Indonesia. Dalam kurun
2010–2024, Indonesia memiliki kelebihanmolasses sekitar 1,6 juta ton per tahun. Namun ironisnya, lebih dari 50% diekspor. “Bayangkan, dari 1,6 juta ton molasses, jika dikonversi, kita bisa menghasilkan sekitar 400 ribu kiloliter etanol. Cukup besar untuk mendukung substitusi energi fosil,” tegas Izmirta.
Sayangnya, alih-alih dimanfaatkan untuk produksi dalam negeri, molasses dibiarkan sebagai komoditas bebas ekspor. Tak seperti Thailand dan India yang melindungi bahan baku strategis ini dengan bea keluar atau pelarangan ekspor, Indonesia justru membuka keran seluas-luasnya. “Ini jadi tantangan besar. Tanpa perlindungan bahan baku, mustahil industri etanol kita bisa tumbuh,” lanjutnya.
Izmirta menyoroti pentingnya pemerintah hadir. Ia mencontohkan negara seperti Brazil dan Amerika yang sukses menjalankan energi terbarukan karena dukungan insentif fiskal dan kebijakan afirmatif. Di Indonesia, skema harga masih bersifat bisnis ke bisnis (B2B) tanpa campur tangan negara. Hasilnya, produsen enggan memproduksi etanol fuel grade karena tidak kompetitif secara harga dibanding impor gasoline.
Program E5, yang mulai berjalan sejak 2023, menjadi titik terang awal. Pertamina mulai mencampur 5% etanol dengan Pertamax untuk menghasilkan Pertamax Green 95. Namun implementasi masih terbatas di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), serta belum menyentuh seluruh jenis BBM.
Masalah tidak berhenti di bahan baku. Kebijakan impor juga jadi batu sandungan. “Per 30 Agustus 2025, etanol dari Amerika akan bebas bea masuk. Sama seperti etanol dari Pakistan sejak 2019. Sementara etanol kita kalau diekspor, dikenakan tarif hingga 90%. Ini tidak adil,” kata Izmirta. Jika pemerintah tidak melindungi industri lokal, pelan-pelan produsen dalam negeri bisa kolaps, PHK terjadi, dan pasar dikuasai etanol impor.
APSENDO mengusulkan agar molasses ditetapkan sebagai bahan baku strategis nasional dan diatur tata niaganya, minimal lewat mekanisme Domestic Market Obligation (DMO). “Kalau kita ingin swasembada energi, bahan bakunya jangan dijual keluar negeri. Kita harus belajar dari biodiesel. Kenapa B40 bisa jalan? Karena semua solar wajib dicampur. Sementara etanol? Masih optional,” tegasnya.
Izmirta juga menyampaikan pentingnya roadmap mandatory yang jelas. “Apakah untuk wilayah nasional atau regional? Apakah berlaku untuk BBM PSO dan non-PSO? Apa sanksi bila tidak dicampur? Dan apa insentif bagi produsen? Semua itu harus tertuang dalam regulasi yang terkoordinasi,” tegasnya lagi.
Ia menyampaikan harapan besar terhadap rencana Perpres yang saat ini tengah digodok pemerintah untuk mendukung ketahanan energi berbasis bioetanol. “Kita sudah menandatangani Paris Agreement, berkomitmen mencapai net zero emission. Tapi tanpa harmonisasi antar pemangku kepentingan, itu hanya akan jadi slogan. Pemerintah harus hadir menciptakan ekosistem energi yang solid,” katanya. (TS).
Sekilas Ketua APSENDO, Izmirta Rachman
Izmirta Rachman merupakan sosok yang sudah tidak asing lagi dalam dalam industri bioenergi Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 6 Desember 1965 itu saat ini menjabat sebagai Ketua APSENDO, Ketua Perkumpulan Industri Pengguna Tetes Tebu (PIPTT), serta Advisor di Pertamina New & Renewable Energy (PNRE). Pendidikan formalnya berawal dari Fakultas Pertanian IPB (1989), kemudian meraih gelar Magister Manajemen dari Universitas Prasetiya Mulya (1997) dengan predikat Cum Laude. Saat ini, Izmirta Rachman sedang menempuh Program Doktoral di universitas yang sama dengan fokus pada keberlanjutan industri bioetanol.
Sebelum menjabat di APSENDO, Izmirta pernah menjadi Direktur PT. Energi Agro Nusantara dan Direktur Pabrik Gula swasta terintegrasi tanaman tebu, sekaligus peraih berbagai penghargaan terkait pengembangan bioenergi. Komitmen dan visinya menjadikan etanol sebagai salah satu tulang punggung transisi energi Indonesia membuatnya menjadi figur sentral dalam perjuangan menuju kemandirian energi nasional. (TS)