Foto : Ilustrasi Ketua Umum APSENDO ( Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman menjadi pembicara dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Triasinfo.com, Jakarta, 17 Juli 2025 – Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) menyerukan agar pemerintah memperkuat komitmen dalam memberikan regulasi yang konsisten serta dukungan pasar bagi industri bioetanol nasional. Ketua Umum APSENDO, Izmirta Rachman, menilai potensi besar bahan baku domestik belum mampu dimanfaatkan secara optimal akibat ketidakpastian kebijakan dan gejolak harga molases yang menjadi bahan baku utama.
Izmirta menyampaikan bahwa kapasitas produksi etanol Indonesia saat ini mencapai 160 juta liter, di mana 40 juta kiloliter di antaranya diekspor. Namun, kapasitas tersebut belum mencapai performa maksimal karena lemahnya dukungan pasar dalam negeri.
“Lima perusahaan biofuel sudah siap dengan total kapasitas 60 ribu kiloliter. Tapi belum berjalan maksimal karena pasar dan regulasi yang belum sejalan,” ungkap Ketua Umum APSENDO ( Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman (dua dari kanan) dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) di Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Produksi bioetanol sejauh ini berpusat di Jawa dan Lampung, sebagian digunakan untuk campuran Pertamax Green. Meski skema blending telah diperkenalkan sejak 2006, volumenya masih sangat terbatas. “Tahun ini memang sudah ada realisasi, tetapi masih jauh dari potensi maksimal. Ini baru tahap awal,” tambahnya.
Ia juga mengkritisi tumpang tindih regulasi yang justru merugikan industri dalam negeri. Permen ESDM No. 4/2025 telah melarang impor bioetanol untuk BUMN sebagai bentuk proteksi lokal, namun bertentangan dengan Permendag No. 16/2025 yang justru membuka impor bioetanol bebas bea masuk melalui mekanisme bioskot. “Ketika ekspor kita ke Amerika dikenai bea 19%, bioetanol impor bisa masuk tanpa hambatan. Ini jelas ancaman besar,” ujarnya. Tidak hanya itu, industri juga terdampak oleh fluktuasi harga molases yang tajam. Dari 1,6 juta ton produksi nasional, sekitar separuhnya diekspor, sementara kebutuhan domestik tinggi. “Harga molases bisa naik-turun drastis, dan itu berpengaruh besar karena bahan baku menyumbang 70% dari biaya produksi,” jelas Izmirta.
Menurutnya, ekspor besar-besaran molases, termasuk 850 ribu ton ke Filipina, justru mengancam ketahanan ekosistem pertanian dan kelestarian lahan. “Lahan kita bisa makin rusak, rendemen gula menurun, dan petani jadi makin tergantung pupuk anorganik yang mahal,” ujarnya. Oleh sebab itu, APSENDO mendorong pemerintah untuk segera menetapkan offtaker pasti untuk bioetanol, memberi kemudahan perizinan terutama untuk fasilitas blending, serta menetapkan kebijakan harga yang adil dan berpihak pada produsen lokal. “Kalau target E5 dan E10 ingin dicapai, regulasi harus tegas, pasar tersedia, dan bahan baku jangan dibiarkan keluar begitu saja,” pungkasnya.