Foto : Presiden Iran Masoud Pezeshkian (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan)
Teheran – Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengungkapkan bahwa dirinya menjadi target upaya pembunuhan oleh Israel selama konflik bersenjata yang terjadi bulan lalu antara kedua negara. Pezeshkian menyatakan serangan tersebut gagal mencapai sasarannya.
Pernyataan ini disampaikan Pezeshkian dalam sebuah wawancara eksklusif dengan tokoh media asal Amerika Serikat, Tucker Carlson, yang dirilis pada Senin (7/7) waktu setempat. Dalam wawancara tersebut, Pezeshkian menegaskan bahwa serangan tidak dilancarkan oleh Amerika Serikat, melainkan langsung oleh militer Israel.
“Saya sedang dalam pertemuan ketika mereka mencoba membombardir area tempat kami berada. Itu adalah upaya pembunuhan yang mereka lakukan,” ungkapnya, merujuk pada kejadian selama perang singkat yang berlangsung selama 12 hari.
Konflik tersebut memuncak setelah Israel meluncurkan gelombang serangan udara besar-besaran ke wilayah Iran, menewaskan sejumlah tokoh militer dan ilmuwan nuklir penting. Iran pun membalas dengan rentetan serangan rudal dan drone yang menyebabkan puluhan korban jiwa di wilayah Israel.
Otoritas kehakiman Iran menyebut lebih dari 900 orang tewas selama perang dua pekan tersebut, sementara data dari Tel Aviv mencatat sedikitnya 28 korban jiwa di pihak Israel. Perang akhirnya dihentikan melalui kesepakatan gencatan senjata yang diberlakukan sejak 24 Juni 2025.
Dalam konteks politik yang lebih luas, Pezeshkian juga mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menurutnya tengah mengejar agenda pribadi untuk memicu konflik abadi di kawasan. Ia mengacu pada pernyataan Netanyahu sebelumnya yang tidak menutup kemungkinan menargetkan Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, sebagai jalan pintas untuk mengakhiri konflik. Namun, rencana itu kabarnya diveto oleh Presiden AS Donald Trump.
Lebih lanjut, Pezeshkian menyarankan agar Amerika Serikat tidak ikut terseret dalam konflik yang disebutnya sebagai “perang Netanyahu”, bukan perang Amerika. Ia juga membuka pintu untuk melanjutkan perundingan nuklir dengan AS, asalkan ada dasar saling percaya yang dapat dibangun kembali.
“Iran tidak menutup pintu diplomasi. Tetapi, pilihan Amerika jelas: damai atau perang,” tegas Pezeshkian dalam penutup wawancaranya.