Peternakan ayam
TRIASINFO, BANDUNG - Dunia usaha peternakan ayam sedang tidak baik-baik saja saat ini. Hal itu diungkapkan Ir. Herry Darmawan dan program podcast 'Bincang Tipis-Tipis' di kanal Youtube Tale Trias Info, yang dikutip Triasinfo.com, belum lama ini.
Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat ini mengungkapkan bahwa bisnis ternak ayam dalam dua tahun ini sedang tak baik-baik saja. Mengapa? Karena, peternak dalam 24 bulan ini hanya mendapatkan untung kira-kira lima bulan. Sedangkan, 19 bulan sisanya lebih banyak merugi. Mengapa bisa merugi,? Karena harga jualnya di bawah harga produksi. Mengapa harga jualnya menjadi murah, karena disinyalir terjadi kelebihan produksi (over produksi).
Ir. Herry Dermawan, Anggota Komisi II DPRD Jawa Barat Fraksi PAN
“Atau bisa juga dikatakan permintaan yang berkurang, jadi supply dan demand ini barang koit. Kalau supply bisa dihitung tapi demand agak susah. Kita hidup di Indonesia di mana masalah data ini adalah barang yang sangat mahal untuk dicari,” kata Herry.
Sebetulnya ada beberapa aturan, kata Wakil Ketua DPW PAN Jabar ini. Baik dari Badan Pangan Nasional maupun dari Kementerian Perdagangan bahwa pemerintah wajib menjaga keseimbangan supply dan demand. Disinyalir kelebihan produksi dimana produksi ayam bisa dihitung dari jumlah produksi dari bibit ayam.
“Kebutuhan ayam di Indonesia diperkirakan sebanyak 50 juta ekor per minggu tetapi produksi bibit ayam diperkirakan mencapai 70 juta, jadi ada kelebihan 20 juta ekor bibit ayam per minggu. Nah ini harus diseimbangkan, lantas bagaimana caranya menyeimbangkan supply dan demand? Bagaimana caranya kita mengangkat pemintaan,” papar Herry Dermawan.
Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) ini menambahkan, kebutuhan akan daging ayam adalah kebutuhan sekunder,, Namun jika ada kemauan, imbunya, pemerintah bisa saja memasukkan daging ayam ke dalam komponen BPNT atau Bantuan Pangan Non Tunai.
“Kita bayangkan saja kalau penerima BPNT diberikan ayam setengah kilo saja, itu akan meningkatkan permintaan, kenapa daging ayam adalah sumber protein,” tandasnya.
Jadi, berdasarkan yang kita alami pemerintah hanya melihat harga ayam di pasar, tapi tidak melihat harga di peternak. Harga di peternak misalnya Rp17 ribu kemudian harga di pasar Rp35 ribu, bukan berarti langsung untung Rp18 ribu.
“Ayam peternak itu dibawa ke pasar lalu dipotong, dibersihkan bisa susut 30 persen, artinya harga Rp17 ribu di kandang susut 30 persen berarti dipasar seharusnya Rp24 ribu sampai Rp25 ribu lah. Tapi yang terjadi sekarang adalah Rp35 ribu. Jadi, harga yang tinggi ini tidak dinikmati oleh peternak dan hanya dinikmati pedagang,” katanya.
Kalau memang terjadi simultan atau berkesinambungan, kalau di peternak Rp17 ribu harusnya dipasar Rp25 ribu. Kenapa di pasar terjadi seperti itu, karena di pasar itu para pedagang hanya jual 100 sampai 200 ekor. Mereka hanya menargetkan kalau untung sedikit nggak nutup biayanya dan lagi mereka itu beranggapan kalau menurunkan harga nanti ketika harga naik susah.
“Dan satu hal lagi, Pemerintah kita gembar-gembor bahwa ketahanan pangan kita bagus kita akui bagus dan surplus. Tapi jangan lupa dibalik surplus itu banyak petani dan peternak yang berdarah-darah,” katanya.
Dengan kondisi seperti ini, lanjut Herry, sudah ada 60 sampai 70 persen peternak ayam sudah istirahat. Peternak ayam sudah nggak kuat, tapi jangan lupa bahwa di Indonesia ini ada peternak konglomerat dan ada peternak rakyat.
Habisnya peternak rakyat itu tentu omzetnya tentu akan diambil oleh peternak konglomerat. Sekarang kenyataan pahit yang diterima peternak adalah, harga di kalangan peternak Rp17 ribu sementara biaya produksinya sudah mencapai Rp21 ribu, yang ada justru merugi.
“Peternak rakyat saat ini sudah nggak kuat, bahkan sudah ada yang berhadapan dengan hukum, karena rugi terus dan mereka nggak bisa bayar pakan. Jadi perusahaan pakan sudah banyak yang melakukan upaya hukum untuk menagih uang pakan. Ini memang sangat disayangkan.
“Solusi yang kita tawarkan sebenarnya sangat sederhana, yaitu supply dan demand harus seimbang,” pungkasnya.