Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI): TETAPKAN TITIK NOL,BANGUN ULANG SAWIT INDONESIA

Sahat Sinaga, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

nasional

Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI): TETAPKAN TITIK NOL,BANGUN ULANG SAWIT INDONESIA

Industri sawit Indonesia terancam oleh ketidakpastian regulasi, tumpang tindih kebijakan, dan lemahnya tata kelola, yang menurunkan produktivitas dan kepercayaan investor. Sahat Sinaga menekankan perlunya data akurat, harmonisasi kebijakan, dan efisiensi
 

Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, dewasa ini menghadapi ancaman serius akibat :

  1. Areal perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan masih mengalami kendala di lapangan (antara definisi penetapan kawasan hutan dan pengukuhan kawasan hutan) sehingga kini banyak perkebunan sawit yang tidak beroperasi secara optimal.
  2. Banyak tanaman sawit terutama milik masyarakat (small holders) yang sudah uzur dan juga lahan perkebunan sawit menjadi kurang subur.

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, memperingatkan bahwa ketidakjelasan kebijakan akan melemahkan kepercayaan investor untuk berbisnis sawit di Indonesia yang akan menurunkan produktivitas sawit nasional secara drastis.

“Tanpa hukum yang jelas dan dijalankan tidak konsisten, Industri strategis ini akan berjalan di atas bom waktu,” ujarnya kepada Trias.

Kegelisahan pelaku industri dipicu oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang diterbitkan pada 21 Januari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto. Regulasi ini bertujuan menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari aturan perundang-undangan, tetapi justru memicu kebingungan di lapangan. Perpres tersebut dinilai bertabrakan dengan regulasi yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021 tentang sanksi administratif.

Salah satu masalah utama adalah perbedaan tafsir antar berbagai instansi terkait dan pelaku usaha mengenai pola pengembangan Industri sawit ini secara nasional an untuk itu diperlukan referensi dasar (“titik nol”) sebagai basis pengembangan selanjutnya.

Sawit adalah aset nasional. Dengan pengelolaan yang tepat, kita bisa wujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, maka potensinya harus dikembangkan.

“Kalau setiap kementerian punya referensi  sendiri-sendiri, dan tidak bermuara kepada tujuan yang sama yaitu sawit menjadi basis untuk menjaga ketahanan dan ketahanan energi, bagaimana bisa industri ini dikelola dengan baik?” ujar Sahat.

Ilustrasi panen kelapa sawit. (Foto dok. Tosadah)


Perpres 5/2025 cenderung represif dengan mengedepankan sanksi pidana, sementara UU Cipta Kerja mengutamakan pendekatan ultimum remedium, yaitu menyelesaikan pelanggaran administratif sebelum menjatuhkan hukuman pidana. Ketidaksesuaian ini menciptakan ketidakpastian hukum yang meresahkan pelaku usaha.

Penggunaan peta geospasial untuk mengidentifikasi kawasan hutan juga menjadi sorotan. Sahat menegaskan bahwa menentukanbatas kawasan hutan itu sebaiknya berbasis kepada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 14 dan 15, tidak menggunakan peta udara tanpa patok fisik di lapangan.

“Kawasan Hutan baiknya dikukuhkan bukan ditunjuk, dengan melakukan proses a. Penunjukan kawasan hutan, b. Penataan kawasan hutan, c. Pemetaan kawasan hutan dan d. Penetapan kawasan hutan. Batas hutan harus disepakati, disahkan, dan ditandai secara fisik. Itu prinsip dasar hukum kehutanan” menurut para ahli kehutanan kata Sahat.

Adanya kesepakatan bersama untuk menetapkan “titik nol” dari Industri Sawit secara keseluruhan, akan diperoleh: a. Berapa aktual luas kebun sawit dari berbagai pelaku usaha (Small Holders, BUMN dan Swasta), b. Ada data berapa produksi sawit dari masing-masing pelaku usaha, per satu-satuan waktu, c. Berapa stok sawit (CPO dan CPKO) nasional, d. Berapa konsumsi di dalam negeri dan berapa volume ekspor dari sawit dan turunannya per satu-satuan waktu. Dengan informasi yang jelas ini dan setiap bulan Indonesia punya data yang valid maka akan mudah bagi regulator untuk mengembangkan industri sawit ini. Selama ini data yang disajikan oleh pelaku usaha industri sawit melalui asosiasi hanyalah berupa pendekatan-pendekatan.

“Produktivitas menurun, datanya adalah pendekatan dan kita tidak tahu secara akurat pelaku usaha mana yang paling menurun produktivitasnya. Ini adalah ancaman serius bagi pengembangan arah industri sawit ini,” ungkap Sahat.

Untuk mengatasi masalah ini, Sahat mengusulkan tiga langkah strategis:

  1. Pemetaan menyeluruh kebun sawit di tingkat provinsi dan kabupaten, didukung pemantauan satelit untuk mendeteksi ekspansi kebun sawit ilegal.
  2. Transparansi produksi dengan mencatat data TBS, minyak sawit (CPO dan CPKO) setiap bulan, serta alur rantai pasokannya bisa dilacak.
  3. Pengawasan ketat terhadap alur ekspor dan stok minyak sawit setiap periode tertentu untuk mencegah penimbunan dan ekspor ilegal.

“Jika titik nol itu sudah teridentifikasi secara reguler dan pengawasan lapangan berjalan dengan baik dan konsisten, kebun ilegal dan manipulasi data bisa dicegah, serta pemasukan pajak terhadap negara akan terdeteksi dengan baik” tegasnya.

Langkah-langkah ini, menurtnya, akan  menciptakan tata kelola yang lebih terukur dan transparan, sekaligus meminimalkan penyimpangan di lapangan. Di tengah tantangan regulasi, lanskap industri sawit nasional juga mengalami perubahan signifikan. PT Agrinas Palma Nusantara, yang disebut sebagai “pemain keempat”, kini bersanding dengan petani kecil, BUMN, dan perusahaan swasta. Agrinas diperkirakan dalam waktu dekat akan mengelola 1 juta hektar lahan kebun sawit yang berasal dari konsesi swasta dan pengembangan sendiri, sementara BUMN hanya menguasai 586,000 hektar (3,58% dari lahan sawit nasional).

“Negara harus hadir untuk menyeimbangkan kekuatan di industri sawit ini, bukan sekadar jadi penonton,” ujar Sahat. Dia menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga ekosistem industri agar tidak didominasi swasta. “Kehadiran Agrinas juga mencerminkan dinamika baru dalam distribusi lahan dan pengaruh pasar di industri sawit” ujarnya.

Sahat mengaitkan tata kelola sawit dengan visi ekonomi makro nasional, yaitu target pertumbuhan ekonomi 8% per tahun yang dicanangkan Presiden Prabowo industri sawit dapat memberikan kontribusi besar. Namun, jika regulasi di industri sawit seperti sekarang ini tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga, potensi besar dari komoditas ini akan jauh panggang dari api.

“Sawit bisa jadi motor pertumbuhan ekonomi. Tapi kalau pengelolaannya seperti sekarang ini berserak di berbagai K/L kemungkinan besar industri sawit akan menemui ajalnya,” katanya. Dia menyoroti bahwa kelemahan tata kelola tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga pada daya saing Indonesia di pasar global, di mana sawit menyumbang porsi signifikan terhadap ekspor nasional. Di ranah global, Sahat melihat peluang besar dari perubahan pola konsumsi. Konsumsi karbohidrat cenderung menurun, sementara permintaan lemak meningkat secara eksponensial, membuka peluang pasar bagi minyak sawit.

Data USDA memperkirakan produksi CPO Indonesia mencapai 45,5 juta ton pada 2022/2023, menguasai 83% pasar global bersama Malaysia. Permintaan global diproyeksikan terus naik seiring pertumbuhan populasi dan kebutuhan produk berbahan sawit, seperti makanan, kosmetik, dan biofuel. “Ini peluang emas untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia,” ujar Sahat.

Namun, diingatkannya, adanya tantangan baru dari kebijakan tarif Amerika Serikat oleh Presiden Donald Trump. Sahat berpendapat pendekatan AS yang menilai Indonesia memperoleh surplus besar dalam devisa adalah terlalu simplistis, kemungkinan AS hanya berfokus pada neraca perdagangan barang tanpa mempertimbangkan arus jasa digital dan konsultasi yang menggerus devisa indonesia ke AS. “Indonesia membayar banyak untuk lisensi Microsoft, monetisasi YouTube, atau layanan konsultasi AS, jasa perhotelan, jasa konsultan yang kelihatannya belum dihitung,” katanya.

Sahat mencontohkan, jika Indonesia mengekspor barang senilai $100 ke AS dan AS mengekspor $70 ke Indonesia, neraca dianggap surplus $30 bagi Indonesia. Namun, arus keluar untuk jasa digital dan konsultasi justru menciptakan ketimpangan yang lebih besar. Alih-alih retaliasi tarif, Sahat mendorong diplomasi berbasis data untuk menyelesaikan isu ini. “Retaliasi tidak menyelesaikan akar masalah. Kita butuh strategi cerdas dan data lengkap,” tegasnya.

Pendekatan ini, menurutnya, akan lebih efektif dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia di panggung global. Untuk memperkuat daya saing, Sahat mengusulkan reformasi logistik dan hilirisasi. Dia mengkritik praktik in-efisiensi pengangkutan CPO dan turunannya dari Indonesia ke AS melalui pelabuhan Dumai, Kuala Tanjung, atau dari Jawa, adalah suatu kesia siaan, padahal untuk bisa bersaing dengan negara tetangga untuk mencapai pasar global indonesia memiliki letak geografis yang menguntungkan.

“Mengapa tidak mengolah di sumbernya? Dari Kalimantan Timur, kita bisa langsung ekspor ke Cina atau India tanpa memutar ke Jawa,” katanya. Sahat pun menunjuk pelabuhan Maloy di Kalimantan Timur sebagai titik strategis
untuk ekspor ke Asia Timur, sementara pasokan domestik dapat dipenuhi dari Kalimantan Selatan atau Lampung. Gagasan ini sejalan dengan prinsip logistik global: kedekatan menciptakan efisiensi.

“Jika ingin menjangkau Pantai Barat Amerika, Kanada, dan Amerika Latin sebaiknya tidak mengekspor sawit dan turunannya dari Dumai, melainkan membuka KEK industri sawit di Papua” tambahnya. Agar produsen hilir sawit dari AS/Kanada tertarik merelokasi pabriknya di Indonesia perlu diberikan insentif yang menarik, selain harga sawit yang lebih murah di pasar dalam negeri Indonesia dibanding di pasar global. Sahat juga menekankan bahwa logistik bukan sekadar distribusi, tetapi alat strategi geopolitik.

“Kita harus ubah cara pikir. Logistik yang efisien adalah salah satu strategi jitu untuk menjangkau pasar global dan produk sawit Indonesia bisa lebih kompetitif,” katanya. Dengan memanfaatkan pelabuhan strategis dan mengoptimalkan rantai pasok, Indonesia bisa memangkas biaya dan waktu, sekaligus memperkuat pengaruh dan penguasaan pasar di global market.

“Pengolahan CPO di wilayah produksi seperti Kalimantan akan meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada pusat pengolahan di Jawa, yang selama ini membebani biaya logistik,” urainya. Masa depan industri sawit, menurut Sahat, bergantung pada harmonisasi regulasi, data yang akurat, dan strategi logistik yang cerdas. Tanpa perbaikan mendasar, Indonesia berisiko kehilangan posisinya sebagai pemimpin pasar global. Sebab itulah Sahat berharap pemerintah segera bertindak untuk menyelesaikan keruwetan kebijakan, memperkuat tata kelola, dan memanfaatkan peluang pasar global agar industri sawit tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

“Sawit adalah aset nasional. Dengan pengelolaan yang tepat, kita bisa wujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Tapi kalau dibiarkan seperti ini, kita hanya akan menyia-nyiakan potensi,” pungkasnya. (TS)

Dewan Minyak Sawit Indonesia DMSI Sahat Sinaga

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga :