Sudah Tinggal Lebih dari 25 Tahun, Warga Masyarakat di Lima Dusun, Simangambat Julu, Paluta Terancam Terusir dari Kampungnya

Masyarakat di lima dusun di Kecamatan Simangambat Julu, Padang Lawas Utara terancam terusir dari kampungnya karena tanah tempat mereka berpijak dan tinggal diklaim sebagai milik salah satu perusahaan perkebunan.

lintasdaerah

Sudah Tinggal Lebih dari 25 Tahun, Warga Masyarakat di Lima Dusun, Simangambat Julu, Paluta Terancam Terusir dari Kampungnya

Masyarakat di lima dusun di Kecamatan Simangambat Julu, Padang Lawas Utara terancam terusir dari kampungnya karena tanah tempat mereka berpijak dan tinggal diklaim sebagai milik salah satu perusahaan perkebunan.
 

 

PALUTA-Masyarakat di lima dusun di Kecamatan Simangambat Julu, Padang Lawas Utara terancam terusir dari kampungnya karena tanah tempat mereka berpijak dan tinggal diklaim sebagai milik salah satu perusahaan perkebunan. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi masyarakat, Erman Tale Daulay selaku host Bincang Tipis-Tipis di channel Tale Trias Info berkesempatan mendengarkan penjelasan dari hatobangon (tokoh masyarakat) dari lima dusun tersebut, antara lain Sahrul Ritonga, Alimuda Ritonga dan tokoh masyarakat dari Simangambat Julu Sahmual Pasaribu.

Sahmual Pasaribu, sebagai perwakilan masyarakat menyampaikan usulan pencabutan HGU PT. Wonorejo Perdana No. 2/1997, tanggal 14 Mei 1997 seluas 2.827,5 hektar yang berlokasi di desa Simangambat Julu, kecamatan Simangambat, kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

Hal ini dasarkan pada tiga hal pokok, yaitu masyarakat lima dusun (Dusun Pulung Rejo, Aek Meranti, Sipiongot, Bandar Gula Baru dan Aek Nadenggan) desa Simangambat Julu, Kec. Simangambat, Kab. Paluta,  Sumut, sudah menguasai dan mengusahai areal tersebut sejak tahun 1995 sampai sekarang secara terus-menerus.

Atau sudah lebih dari 25 tahun dengan cara membeli kepada Hatobangon/Tokoh Adat yang dikuatkan oleh Kepala Desa Simangambat Julu dan membuka hutan asli dengan cara menumbang manual (bukan lahan bekas yang pernah diusahai oleh siapapun) dan mengusahainya sampai sekarang.

"Tidak ada tanda-tanda Patok HGU, atau plank ataupun pelarangan kepada masyarakat waktu mulai membuka areal tersebut," katanya.

Sejak tahun 2000, lanjutnya sudah terdapat sarana fasilitas sosial dan sasilitas umum berupa lima dusun pemukiman dengan jumlah KK sekitar 500 KK dan lebih kurang 1.500 jiwa, SD Negeri dan sekolah swasta, tempat ibadah, jaringan jalan dan PLN serta fasilitas lainnya.

Karena ini menyangkut hajat hidup rakyat dalam jumlah ribuan, lanjut Sahmual, kalau dipaksakan menggusur masyarakat dengan alasan HGU, tentu ini akan menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan.

Kemudian areal yang diklaim masuk dalam HGU 2 PT. Wonorejo Perdana ternyata berada dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) sesuai SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara.

"Oleh karena areal ini berada di dalam Kawasan hutan, maka masyarakat juga mengajukan ikut program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) agar diberi kepastian hukum dalam penguasaan lahan ini demi kesejahteraan dan kemaslahatannya," paparnya.

Kalau pun benar HGU 02/1997 pernah diterbitkan di atas kawasan ini untuk PT. Wonorejo sesuai keterangan ATR/BPN Tapanuli Selatan dalam laporan hasil verifikasi lapangan yang dipimpin oleh Kantor Staf Presiden tanggal 1 Oktober 2024 diantaranya menyampaikan bahwa HGU ini terindikasi terlantar karena dari 2.827,5 hektar Hak yang diberikan, PT. Wonorejo hanya menguasai sekitar 400 hektar yang diperoleh belakangan dengan cara membeli dari masyarakat yang merasa terintimidasi.

"Selebihnya dikuasai dan diusahai oleh masyarakat lima dusun dan PT. ANJ Agri HGU No.02/1997 akan berakhir 31 Desember 2029 (sekitar 5 tahun lagi) dan baru sekarang pihak perusahaan berusaha menerebut lahan tersebut dari masyarakat dengan cara intimidasi maupun dengan cara menggugat masyarakat ke Pengadilan. Selama 30 tahun kebelakang perusahaan tidak mengurus areal ini," tandasnya.

Dalam perbincangan tersebut, masyarakat di lima dusun meminta agar pemerintah mempertimbangkan apa yang diusulkan oleh masyarakat dan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, kiranya pemerintah dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dapat mengambil sikap terhadap apa yang ditemui dilapangan, yaitu agar HGU-nya ditinjau ulang atau sesuai permohonan masyarakat agar HGU-nya dicabut sehingga ada win-win solution dengan perusahaan yang ada di lahan tersebut.

Paluta Kementerian ATR/BPN Terancam terusir Perkebunan HGU

Bagikan Artikel Ini